Profil tokohWiji Thukul Wijaya lahir di Sala 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak dari
keluarga Katolik. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah
Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada 1980.
Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar penghuninya
hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan
penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya
semakin merosot. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya
selalu menggelisahkan para penghuni kampung.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan
tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang semir mebel, maupun buruh
harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung,
kadang-kadang diiringi musik gamelan.
Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Solo dan Jawa Tengah sangatlah
luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers
Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul
diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya
berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta.
Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ”Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”
Awal 1990-an terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang menjadi
anak organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan
oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.
Tahun 1995 Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat kebrutalan polisi saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex. Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh
pemerintahan Orde Baru, Thukul bersama anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai "orang hilang", korban-korban penculikan pemerintahan militer Orde Baru.
Tahun 2002 Thukul secara in absentia menerima Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya di bidang penegakan
HAM.
Hanya satu kata, Lawan! Kalimat pendek itu lebih dikenal ketimbang Wiji Thukul, penyair yang menuliskan puisi
perlawanan tersebut. Hanya satu kata, lawan! telah menjadi semacam roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang mencoba
menemukan kembali jati dirinya, yaitu sebuah kekuatan melawan rezim otoritarianisme. Ia telah menemukan api bagi
sebuah simbol perlawanan
Kumpulan puisi Wiji Thukul, menggunakan bahasa yang ringan, jarang
menggunakan kiasan personifikasi. Karena bahasa yang dipakai adalah
bahasa sehari-hari dan merakyat. Wiji Thukul, mungkin juga W. S. Rendra,
hingga pemusik Iwan Fals, di era 80an hingga 90an banyak mengungkap
kritik sosial. Ketidakadilan penguasa, kebijakan yang prematur, kemiskinan
dan derita kaum terpinggirkan berbaur dengan kelaparan dan hukum
yang tidak jelas penerapan kerap disinggung. Dan tema ini sebenarnya tak
lekang oleh waktu. Hanya saja selepas reformasi, suara-suara sumir tentang
tatanan sosial dan kebusukan sistem menjadi hambar .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar